MEDAN - Pimpinan Wilayah Himpunan Mahasiswa Alwashliyah (HIMMAH) Sumatera Utara menyoroti dua kasus berbanding terbalik dalam proses penegakan hukum terhadap oknum kepolisian yang viral di masyarakat. Kedua kasus itu dinilai sarat dengan pelanggaran etika dan profesi sesuai Peraturan Kepolisian Republik Indonesia No 7 Tahun 2022.
“Ada dua kasus menyangkut oknum kepolisian yang saat ini viral di masyarakat, sama-sama terkait etika dan profesi. Persoalan oknum Satlantas Polda Papua yang menjilat kue untuk HUT TNI, dan dugaan oknum penyidik Polrestabes Medan yang ditengarai ‘mengangkangi’ kesimpulan serta rekomendasi hasil gelar perkara yang dilaksanakan Polda Sumut,” ucap Wakil Ketua PW HIMMAH Sumatera Utara, Awaluddin Nasution didampingi Wakil Sekretaris Kiki Trisna di sela-sela diskusi hukum yang digelar di Kantor PW Alwashliyah Sumatera Utara Jalan SM Raja Medan, Selasa (10/10/2022).
Diskusi hukum yang digelar secara bersahaja itu, cukup menarik diikuti. Para mahasiswa antusias menyoroti sejumlah persoalan yang hangat diberitakan media massa dan viral di masyarakat. Persoalan yang banyak mendapat sorotan adalah kasus dua oknum Satlantas Polda Papua Barat yakni Bripda YFP dan Bripda DMB yang dipecat karena menjilat kue untuk HUT TNI, dan kasus dua oknum penyidik Polrestabes Medan, Bripka SPT dan AKP PT yang dilaporkan ke Bidang Propam Polda Sumut atas sangkaan pelanggaran kode etik profesi.
“Kasus menjilat kue, prosesnya cepat. Hanya tenggat dua hari setelah menjilat kue, dua oknum Satlantas Polda Papua itu dipecat melalui sidang etik. Berbeda dengan kasus dua oknum penyidik Polrestabes Medan yang diduga ‘dilindungi’ sebuah kekuatan besar hingga berani ‘mengangkangi’ kesimpulan serta rekomendasi hasil gelar perkara yang dilaksanakan Polda Sumut dan mengabaikan perintah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebagaimana termaktub dalam Peraturan Kepolisian Republik Indonesia No 7 Tahun 2022,” tutur Awaluddin seraya membacakan pemberitaan di sejumlah media massa online.
“Jilat kue dipecat, diduga abaikan perintah Kapolri dan ‘kangkangi’ kesimpulan serta rekomendasi hasil gelar perkara diduga diback-up. Fakta ini sangat berbanding terbalik,” katanya lagi.
Menurut Awaluddin, kedua kasus itu sangat terkait dengan pelanggaran etika dan profesi sebagaimana termaktub dalam Peraturan Kepolisian Republik Indonesia No 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.
“Untuk kasus jilat kue, kita mendukung keputusan sidang kode etik memberhentikan dengan tidak hormat dua oknum yang melakukan kesalahan tersebut. Kita juga mendukung dilakukan tindakan yang sama terhadap oknum penyidik Polrestabes Medan, bila terbukti ‘mengangkangi’ hasil kesimpulan dan rekomendasi gelar perkara di Polda Sumut, apalagi oknum tersebut ikut menjadi peserta dan pemapar persoalan saat dilaksanakan gelar perkara,” tuturnya.
Gelar perkara (aan wijzing), sebut Awaluddin, merupakan salah satu upaya untuk memberikan gambaran yang objektif dan jelas akan status hukum maupun terhadap aspek hukum suatu permasalahan. Para peserta gelar perkara biasanya meliputi penyidik dan melibatkan lintas bidang institusi.
“Kalau gelar perkara dilaksanakan di Polda Sumut, tentu melibatkan lintas bidang di Polda Sumut. Eksistensi dan kredibilitas lintas bidang tersebut dipertaruhkan dalam gelar perkara. Jika penyidik yang ikut dalam gelar perkara tidak melaksanakan kesimpulan dan rekomendasi hasil gelar perkara, sama artinya dia (oknum penyidik) telah ‘menghina’ lintas bidang institusi yang ikut dalam gelar perkara itu,” tukasnya.
Kalau kesimpulan dan rekomendasi hasil gelar perkara menyatakan kasus yang ditangani ditingkatkan, maka penyidik harus meningkatkannya. Namun, jika kesimpulan dan rekomendasi gelar perkara menyatakan dihentikan, maka penyidik wajib pula menghentikannya.
“Bila hasil gelar perkara menyimpulkan kasus dihentikan, oknum penyidik tidak melaksanakannya, sama artinya telah ‘melecehkan’ lintas bidang institusi, mengabaikan Peraturan Kepolisian Republik Indonesia No.7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri, mengabaikan Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana, mengabaikan Peraturan Kepala Badan Reserse Krimninal Polri No.4 Tahun 2014 Tentang Standar Operasional Prosedur Pengawasan Penyidikan Tindak Pidana dan mengabaikan Surat Edaran Kapolri No.SE/7/VII/2018 Tentang Penghentian Penyelidikan,” papar Awaluddin mengutip dalih hukum sebagaimana diberitakan sejumlah media online.
Awaluddin menduga ada sebuah kekuatan besar yang ditengarai melindungi oknum penyidik Polrestabes Medan sehingga berani ‘mengangkangi’ kesimpulan dan rekomendasi hasil gelar perkara.
“Bisa jadi penyidiknya diduga diintervensi atau diduga ditekan hingga tidak mematuhi kesimpulan dan rekomendasi gelar perkara yang dihadirinya sendiri,” katanya menduga-duga.
Untuk itu, Awaluddin mendukung Bidang Propam Polda Sumut untuk segera memeriksa oknum-oknum penyidik yang mengabaikan kesimpulan dan rekomendasi hasil gelar perkara, demi tegaknya kepastian, kemanfaatan dan keadilan hukum.
“Kita juga meminta Kapolri dan Kapolda Sumut untuk bertindak tegas. Bila kesimpulan dan rekomendasi gelar perkara tidak dilaksanakan, hal itu akan menjadi preseden buruk bagi kepolisian,” katanya.
Hal senada diutarakan Wakil Sekretaris PW HIMMAH Sumut, Kiki Trisna. Menurutnya, kasus ‘pembangkangan’ terhadap kesimpulan dan rekomendasi hasil gelar perkara dan kasus menjilat kue untuk HUT TNI, sudah termasuk dalam kategori pelanggaran etik.
“Saya tidak sependapat kalau kasus menjilat kue dijatuhi sanksi pemecatan. Sanksi pemecatan itu terlalu berat untuk sebuah kesalahan etik ringan. Tapi kalau kasus mengabaikan kesimpulan dan rekomendasi hasil gelar perkara yang notabene melanggar Peraturan Polri No.7 Tahun 2022, Peraturan Kapolri No 6 Tahun 2019, Peraturan Bareskrim Polri No.4 Tahun 2014 dan melanggar Surat Edaran Kapolri No.SE/7/VII/2018, sudah bisa dibilang fatal. Layak dijatuhi sanksi pemecatan,” tandasnya.
Sekadar mengingatkan, kasus menjilat kue untuk HUT TNI yang dilakukan dua oknum Satlantas Polda Papua Barat, sempat viral di media sosial dan media massa. Begitu juga dengan kasus dua oknum penyidik Polrestabes Medan yang dilaporkan ke Bidang Propam Polda Sumut atas sangkaan pelanggaran kode etik profesi sesuai Laporan Nomor: STPL/114/X/2022/Propam tertanggal 03 Oktober 2022. (Red)